MALAM DI ATAS KERETA API 24 Oktober 2012 Saat senja datang, stasiun-stasiun dalam kota satu persatu terlewati dengan lancar, di luar jendela pemandangangan berangsur berubah dari kumuhnya kota jakarta menjadi pemandangan bentangan-bentangan alam yang beragam, mulai dari suasana pinggiran kota yang lengang sampai pemandangan sawah yang mengering. Bersandarkan kursi dan menikmati hembusan angin segar sore hari, suasana dalam gerbongpun berubah. Pengap dan panasnya gerbong hilang tak bersisa tertiup angin dari jendela-jendela persegi panjang di atas jajaran jendela utama kereta, suasana dalam gerbong menjadi tenang karena tampaknya setiap orang menikmati hal yang sama seperti yang aku rasakan, menikmati pemandangan luar gerbong dan menikmati sejuknya hembusan angin sore ditemani oleh lalu lalang pedagang yang tak henti berlalu lalang merusaha mendapatkan rejeki dari kami para penumpang kereta, peluh yang tadi membasahi kening tersapu bersih dan meninggalkan rasa nyaman. Entah berapa lama kami bercengkrama, ngobrol ngalor-ngidul, sampai akhirnya tiba-tiba kami dikejutkan dengan kepulan debu yang menyelimuti seluruh gerbong kereta, "ada yang bakar-bakar di luar ya?" tanyaku ragu dalam hati karena yang menyelimuti gebong bukan asap tapi debu. Tak lama pertanyaan dalam pikiranku terjawab oleh celetukan Bapak yang duduk diseberang kananku. "Selalu begini deh kalau lewat daerah ini pas kemarau, tanah dibawah kereta berhamburan setiap kali kereta lewat" serunya. Tak lama kemudian debu-debu yang bertebaranpun hilang disapu sang angin yang tadi justru membawa sang debu masuk ke dalam gerbong. Cahaya senja berangsur memudar seiring matahari yang perlahan menghilang di balik ufuk ditemani syahdunya suara azan maghrib yang menyusup ke dalam gerbong saat kereta melintasi masjid-masjid yang berada di sepanjang jalur kereta. Tak lama kemudian dengan menyapukan debu ke wajah dan lengan, aku bertayamum sebelum sholat mahrib dan isya yang dijamak qosor dalam posisi duduk di gerbong mengikuti arah kereta yang menjauhi arah matahari terbenam. Kapan lagi bisa sholat sambil duduk, dijamak, di qosor, dan membelakangi kiblat jika bukan di kereta ekonomi yang bergerak menjauhi peraduan sang matahari. Detik, menit dan jam berganti perlahan, pemandangan di luar gerbong tak lagi mudah dilihat di pekatnya malam selain lampu-lampu dari kendaraan di jalan dan rumah-rumah yang berada di sekitar jalur kereta, satu persatu para penumpang mulai memejamkan mata melepaskan sebagian lelah karena perjalanan masih panjang. Disaat-saat kantuk mulai menggantung, aku masih melihat para penjual batik menawarkan berbagai kaos, daster, taplak meja, sarung bantal dan guling pada para penumpang yang masih terjaga sementara sebagian lainnya sudah tertidur lelap di bangkunya masing-masing. Dengan bantal leher tiup yang telah terpasang di leher, sesosok ibu-ibu membawa baskom yang dijunjung di kepala menarik perhatianku dengan seruannya sepanjang sal gerbong. "sate ayam, lontong!" serunya bersemangat di antara puluhan penumpang yang sudah tertidur dan nyaris tertidur, termasuk aku. Tak sempat aku memanggilnya karena ia sudah pindah ke gerbong selanjutnya dengan membawa dagangannya yang membuatku penasaran seperti apa wujud makanannya. Tak lama, kembali ibu-ibu penjual sate lontong itu kembali masuk ke gerbongku yang langsung ku panggil menghampiriku. "sate lontong bu, berapa?' "biasa, Rp.6000 mas! mau berapa?" "satu bungkus aja bu!" Beberapa saat kemudian, bungkusan dari daun pisang sudah berpindah tangan dari baskom dagangannya ke genggamanku dan 3 lembar uang 2ribuan berpindah ke tangannya. Kulirik ke dalam bungkusan daun pisang itu dan kutemukan setumpuk lontong dan 4 tusuk sate ayam di dalamnya, "lontong 2ribuan dan sate seribu setusuk tho!" kataku dalam hati sambil menikmati empuknya lontong dan pedasnya bumbu sate menemani sepinya malam yang masih panjang. Hilir mudik penumpang serta penjual yang naik dan turun terasa semakin sepi menjelang tengah malam, entah sudah berapa stasiun yang terlewati, kantuk yang menggantungpun terasa semakin berat sehingga tak terasa akhirnya semua menjadi semakin buram dan gelap saat kantuk tak lagi bisa ditahan. Entah apa yang terjadi di sekelilingku, tapi kunikmati saja hembusan angin malam di ujung rambutku dan kulepaskan lelah di akhir malam ini untuk menjelang matahari esok yang akan datang beberapa jam lagi. Bersambung... ke Eps 3. (DAB) Sekolah berkualitas, unggulan, favorit dan terbaik. Sekolah berkualitas, unggulan, favorit dan terbaik.
0 Comments
Leave a Reply. |
Guru-guruSelamat datang di Blog guru-guru Sekolah Alam Cikeas. Archives
March 2017
Categories
All
Kontribusi Tulisan.
Silahkan masukkan cerita atau tulisan untuk Blog ini melalui halaman Laskar Aksara, atau akses melalui tombol di bawah ini.
|Guru-guru Sekolah Alam CikeasSekolah berkualitas, unggulan, favorit dan terbaik.
|