PBL = Project Based Learning, begitu kami menyebutnya. Ini adalah kegiatan PBL pertama yang dilakukan oleh para siswa kelas 7 Persahabatan, SMP Alam Cikeas. Untuk kegiatan PBL pertama ini, kami bekerja sama dengan komunitas Transformasi Hijau (TRASHI). Kakak-kakak dari komunitas TRASHI inilah yang kelak akan menjadi mentor kami dalam melakukan PBL. Lokasi yang akan kami tuju ada tiga tempat, yaitu Suaka Margasatwa Muara Angke, Suaka Margasatwa Pulau Rambut dan Pulau Untung Jawa. Sebelum melakukan beragam petualangan di hari H, ada banyak persiapan yang kami harus lakukan; Pertama-tama, para Kakak dari TRASHI melakukan presentasi mengenai lokasi tujuan di hadapan murid, guru dan orang tua. Setelahnya, murid-murid mulai menggabungkan diri sesuai dengan kelompok pamongnya masing-masing. Ada banyak hal yang dilakukan per kelompok pamong dalam mempersiapkan diri . Diantaranya adalah: 1. Membuat proposal perkelompok dibimbing oleh guru pamong; 2. Presentasi proposal dihadapan para guru dan orang tua; 3. ‘Packing’ barang dan berbelanja kebutuhan makanan; 4. Latihan mendirikan tenda. Kesemua proses tersebut diselesaikan dengan kerja sama tim dan selalu diawali dengan diskusi kelompok dan pembagian tugas. Hari H , Sabtu- Minggu / 5-6 Oktober 2013 Anak-anak dan para guru mulai berkumpul di sekolah sejak pukul 04.15 WIB. Mereka berdatangan diantar oleh para orang tua yang hendak melepas keberangkatan. Suasana sekolah yang masih gelap, tak menghalangi antusiasme anak-anak. Mereka bergegas menuju kelas, untuk mengambil ransel dan beragam perlengkapan yang telah disiapkan sejak dua hari sebelumnya. Lalu mereka menuju masjid untuk shalat Subuh. Menjelang keberangkatan, para mentor mengecek kelengkapan tiap tim, membagi mobil, berdoa bersama dan kemudian berbaris untuk bersalaman dengan para orang tua. Akhirnya rombongan mobil kami meninggalkan sekolah pada pukul 05.30 WIB, langsung menuju SMMA (Suaka Margasatwa Muara Angke). Alhamdulillah perjalanan lancar dan kami tiba di SMMA di awal waktu. Menjelang pukul 07.00 kami bertemu dan berkenalan dengan para Kakak TRASHI yang akan menjadi mentor kami selama dua hari ke depan.
Kegiatan pertama kami di SMMA adalah melakukan observasi. Lingkungan SMMA yang berupa rawa-rawa luas dengan beragam tumbuhan, binatang, beragam sampah yang menginvasi rawa, serta jembatan kayu yang menjadi area berjalan kami, menjadi bagian observasi yang dilakukan oleh anak-anak. Ketika sedang mengelilingi SMMA yang cukup luas, para kakak TRASHI menjelaskan cara menggunakana binocular untuk mengamati burung-burung laut yang banyak hinggap di sini. Ada beberapa kejadian unik di SMMA. Ketika sedang berjalan di sepanjang jembatan kayu, kami bertemu seorang fotografer yang sedang jongkok di balik kamera berlensa panjang. Sang fotografer itu melakukan penyamaran dengan menyelimuti tubuhnya dengan bahan jaring-jaring berwarna hijau. Kejadian unik kedua adalah, kami berpapasan dengan para wartawan dari Metro TV yang sedang membuat film dengan SMMA. Untuk ditayangkan di program Eagle Documentary, dan kami sempat diwawancarai lho. Menjelang pukul 10.00, kami berjalan kembali menuju lokasi awal. Kami harus berhati-hati kala berjalan di sepanjang jembatan kayu ini. Karena sudah banyak batangan kayu di jembatan yang lapuk dan hilang. Sesampainya di ‘basecamp’, kami merapikan ransel dan barang-barang bawaan, dan bergerak menuju dermaga SMMA. Sudah ada kapal kayu sedang yang bersandar menunggu kami. Sebelum naik kapal, tiap anak memakai pelampung berwarna kuning. Setelah memakai pelampung, para siswa mulai bergantian menaiki kapal kayu dan duduk dengan teratur di dalam kapal. Setelah semua siswa sudah masuk ke dalam kapal, maka para kakak TRASHI dan para guru pun ikut naik ke atas kapal. Mereka memilih untuk duduk diluar atap kapal, di atas dek. Sementara itu, dibagian belakang, ada dua orang Bapak-bapak yang bertugas mengendalikan mesin kapal. Tak lama, mesin kapal dinyalakan dan kami meluncur meninggalkan dermaga, melaju di kali Angke yang penuh sampah dan bau. Selama perjalanan, kami menyaksikan kotornya dan baunya kali Angke yang diapit oleh dua pemandangan yang berbeda. Jika disisi kiri, kami menyaksikan rimbunnya pepohonan SMMA, maka di sisi kanan kami menyaksikan kumuhnya deretan kapal-kapal kayu nelayan tradisional. Sampah-sampah yang mengalir di sepanjang sungai, ada yang terdampar di tepi batas SMMA. Sebagian besar sampah yang tidak terdampar, terus melaju bersama air dan akhirnya membentuk pulau sampah tepat dipinggir laut Muara Angke. Aneka burung laut, Monyet, dan Biawak beberapa kali terlihat mencari makan di tumpukan sampah yang terdampar tersebut. Pemandangan yang sangat membuat hati miris. Betapa rusaknya lingkungan kita akibat tindakan sebagian besar orang yang tidak bertanggung jawab terhadap pembuangan sampahnya. Padahal kerimbunan SMMA ini merupakan benteng terakhir bagi lokasi sekitar. Jika SMMA makin rusak, maka sejumlah kompleks perumahan mewah dan perkantoran yang mengepung SMMA akan merasakan akibatnya. Beberapa kali mesin kapal kami mati, akibat terlilit oleh sampah. Sehingga sang Bapak nahkoda harus mengangkat mesin dan membersihkan sampah yang memilit tersebut Melaju bersama kapal kayu melewati teluk Jakarta, kami melewati beberapa Kapal dan juga lokasi tempat reklamasi pantai untuk membuat pulau buatan. Menurut kakak TRASHI, mereka sedang meneliti, karena sejak dimulainya reklamasi pantai ini, SMMA jadi sering banjir. Dan nantinya kala reklamasi pantai sudah selesai, lalu pulau buatan itu diisi dengan berbagai bangunan dan dipenuhi oleh manusia. Maka SMMA akan makin terjepit. Para burung-burung laut dari beragam pulau dan negara lain yang biasa bermigrasi ke SMMA akan terhalangi jalurnya. Jika biasanya mereka terbang melintasi laut dan langsung mencapai SMMA. Maka dengan nanti selesainya reklamasi pantai, maka akan mengganggu jalur perjalanan mereka. Sehingga pertanyaannya adalah, efek negatif apakah yang akan terjadi kelak terhadap populasi burung-burung di SMMA? Makin menjauh dari teluk Jakarta, kami mulai melewati beberapa pulau kosong, seperti Pulau Onrust dan Pulau Kelor. Dan kondisi air lautpun mulai lebih bersih. Tidak lagi berwarna hitam keruh dan bau seperti ketika keluar dari kali Angke. Setelah hampir satu jam perjalanan, akhirnya kapal kami merapat dengan mulus di dermaga pulau Rambut. Sungguh melegakan, karena kapal kayu yang kami naiki itu, mudah sekali terayun-ayun oleh ombak. Sehingga sebagian anggota tim yang merasa mual, mengisi perjalanan dengan tertidur. Karenanya bisa menjejakkan kaki kembali di daratan adalah sesuatu yang sangat menggembirakan. Setelah melepas pelampung, para siswa merapikan tas ransel dan barang bawaan, untuk kemudian naik ke dermaga satu per satu. Pemandangan pertama yang kami temui selain sebuah darmaga panjang yang terbuat dari kayu, serta sebuah kapal boat mini milik polisi hutan, adalah sebuah pulau dengan garis pantai yang cukup panjang dan rimbun. Namun tidak semua garis pantainya memiliki pantai berpasir. Pantai berpasir landai, tampak hanya ada di dekat darmaga kayu itu saja. Lalu ada beberapa bangunan yang berdiri tak jauh dari pantai. Satu bangunan digunakan sebagai tempat tinggal para polisi hutan.Sementara beberapa bangunan rumah panggung kayu, yang terletak tepat disamping pos polisi hutan tampak terbengkalai. Rusak dan kotor, sungguh sayang sekali. Namun, untungnya teras kayunya masih bisa digunakan sehingga kami bisa duduk-duduk dan menunaikan shalat berjama’ah disitu. Ketika semua anggota tim sudah menjejakkan kaki di pulau, maka kami menghabiskan beberapa menit untuk beristirahat dan berjalan-jalan melemaskan anggota tubuh. Hanya ada kami dan alam saat ini. Suaka margasatwa Pulau Rambut ini tidak berpenghuni. Bahkan dihari-hari biasa, para polisi hutan yang menjaga pulau hanya bertugas hingga pukul 16.00, untuk kemudian mereka pulang ke pulau Untung Jawa. Saat itu, sudah menjelang tengah hari dan saatnya mengisi perut yang sudah mulai bernyanyi.Tiap anak dan mentor mengeluarkan nasi bungkus yang sebelumnya dibagikan di sekolah. Kami makan di terasnya rumah kayu, sambil menikmati suasana pantai di hadapan dan gabungan cuaca panas matahari serta sejuknya angin laut. Agenda selanjutnya adalah mendirikan tenda. Tiap kelompok, mempersiapkan dan mendirikan tendanya masing-masing. Alhamdulillah, latihan mendirikan tenda di sekolah sangat bermanfaat. Mereka mampu mandiri. Setelahnya mereka menata barang-barang pribadi di dalam tenda dan bersiap untuk shalat Jama’ Qasar untuk Dzuhur dan Ashar. Ada hal unik dengan kondisi yang kami harus terima saat itu. Air yang mengalir dari sebuah kamar mandi kecil di belakang pos polisi, ternyata adalah air payau asin. Air itu terasa licin di kulit dan tidak terlalu berbusa kala digunakan dengan sabun. Kami sudah mengantisipasi hal ini dengan bersiap untuk tidak mandi selama dua hari ke depan dan bersiap dengan tisu basah. Hal lain yang sudah kami persiapkan adalah membawa stok air minum pribadi dengan jumlah besar. Karena tidak ada stok air tawar di pulau yang bisa dimasak. Namun, ternyata kami masih harus menyesuaikan diri dan menghemat. Kala stok air milik pribadi mulai habis, maka dua galon air yang dibawa dari SMMA mulai dikonsumsi oleh sekitar 35 orang. Tak lama, air di dalam galonpun habis. Kami harus minum dengan hemat dimasa krisis air tersebut. Ini bagian dari kemampuan bertahan hidup, namun bukan anak-anak namanya kalau tidak bersenang-senang. Agenda selanjutnya adalah observasi burung di Pulau Rambut. Seluruh anak berkumpul di sebuah area terbuka, dan para kakak TRASHI membagi mereka menjadi 5 kelompok pengamatan. Lalu, para kakak TRASHI menjelaskan mengenai kondisi hutan yang akan dilewati, serta beberapa jenis burung yang mungkin ditemui. “ Sebaiknya kalian memakai topi atau payung ya, pada saat masuk ke dalam hutan. Karena kalau tidak, kemungkinan besar kalian akan mendapat hadiah sampo alami,” jelas kak Seken. “ Sampo alami ??? Apa itu Kak ?” tanya anak-anak. “ Pup burung .” jawab kak Seken sambil tersenyum. Mendengar info tersebut, beberapa anak dan guru segera bergegas mengambil topi dan memakainya. Setelah sesi pembagian kelompok dan penjelasan singkat selesai, kami akhirnya mulai memasuki hutan. Berjalan beriringan sesuai dengan kelompok. Kami berjalan memutari sebuah rumah kayu, melewati sebuah pagar kawat besi dan mulai berjalan di jalan setapak. Lebar jalan setapak tersebut hanya sekitar 1 meter. Sementara suasana di dalam hutan, cukup sejuk dan di beberapa bagian terasa remang-remang. Hal ini karena kami berjalan diberada di bawah kanopi tumbuhan. Sementara di antara pohon-pohon besar aneka jenis, tumbuh beragam tanaman perdu, tanaman umbi, serta tanaman rambat. Hal unik yang kami temui di sepanjang jalan adalah banyaknya jejak kotoran burung. Ada di mana-mana. Di permukaan tanah, di setiap semak-semak, di atas dedaunan. Semuanya tertutupi oleh kotoran burung. Kami serasa berada di kandang burung raksasa yang bau. Ini menjelaskan saran dari Kak Seken tadi. Sambil berjalan beriringan, para kakak TRASHI kerap berhenti dan menjelaskan tentang beragam hal. Anak-anak di tiap tim, yang menjadi seksi dokumentasi, tampak sigap mengambil foto atau merekam berbagai hal. Beberapa kali kami harus melompati batangan kayu gelondongan yang rubuh melintang di jalan setapak. Kami juga diingatkan untuk tidak memetik dan membawa apapun dari pulau ini. Karena status pulau ini adalah Suaka Margasatwa yang dilindungi. Dimana semua tanaman yang tumbuh ataupun mati, dibiarkan sealami mungkin tanpa adanya campur tangan manusia. Akhirnya kami sampai di akhir jalan setapak. Tampak berdiri kokoh di depan kami, sebuah menara pengamatan yang menjulang tinggi. Menurut Kakak TRASHI, menara ini tingginya mencapai 30 meter. Sementara itu di depan, dan di samping kiri-kanan kami, masih terhampar luas hutan Pulau Rambut. Namun, kami tak bisa meneruskan perjalanan, karena batas yang diijinkan hanya sampai menara pengamatan ini saja. Ada beberapa hal unik lainnya yang kami temui disini. Banyak sekali lubang-lubang cukup besar di tanah, yang ternyata adalah sarang dari Kepiting Bakau. Dan di sekitar menara pengamatan, kami menemukan banyak sekali sisa karang laut berwarna putih dan ada sebuah pohon yang memiliki banyak sekali akar napas. Padahal jarak kami dengan pantai sudah cukup jauh, lebih dari 100 m. “ Hmmm apa dulu, air lautnya pasang sampai ke tengah pulau ya ?”fikirku Untuk menaiki menara, kami harus menunggu giliran. Dua tim naik terlebih dahulu dan melakukan pengamatan di atas menara. Akhirnya setelah menunggu sekitar 20 menit, dua tim pertama turun dari menara. Setelahnya kami mulai menaiki tangga menara satu persatu. Berpegangan pada pegangan besi dan dengan perlahan menaiki tiap lempeng besi. Makin tinggi, terasa udara semakin sejuk. Ketika akhirnya tiba di tingkat teratas dan memperoleh akses pandang hampir 360 derajat, rasanya hanya bisa mengucap ,” MasyaAllah.” Tampak terhampar di hadapan kami, adalah permukaan puncak-puncak pohon yang bagai permadani hijau. Lalu jauh di belakangnya, tampak laut membingkai mengelilingi pulau. Hanya pohon-pohon di bagian arah kedatangan kami saja yang sebagian besar tingginya setara dengan menara. Sehingga pemandangannya terhalangi. Di atas menara, kakak TRASHI secara bergantian meminjamkan binocular dan menjelaskan kepada anak-anak tentang jenis-jenis burung yang tertangkap oleh alat optik tersebut. Namun , tanpa menggunakan binocularpun kita bisa menikmati pemandangan indah, berupa belasan hingga puluhan burung-burung laut putih yang bertenggeng dipuncak-puncak pohon. Warna bulunya kontras dengan warna dedaunan, sehingga mudah dikenali. Sementara burung-burung laut lainnya yang berwarna gelap, baru bisa dikenali kala mereka beterbangan. Suara burung-burung laut inipun unik,berbeda dengan burung-burung peliharaan yang biasanya bercuit-cuit. Burung-burung laut ini bersuara besar dan ada yang memperoleh nama dari suaranya yang berkaok-kaok. Sesi observasi itu selesai dan kamipun kembali beriringan keluar dari hutan menuju lokasi tenda. Dalam perjalan pulang itu, kami sempat menemukan seekor Biawak besar. Binatang serupa kadal itu tampak bersembunyi diantara batang pepohonan. Kami hanya bisa melihat bagian belakang tubuhnya dan cukup terkesima dengan ukurannya yang besar, seperti Komodo kecil. Menurut Kakak TRASHI, Biawak ini adalah pemakan Bangkai dan tidak berbahaya bagi manusia. Ketika kami sampai diluar hutan dan berjalan mendekati area tenda. Saat itu waktu sudah melewati Ashar. Kami diberitahu kalau genset di pos polisi hutan kehabisan bahan bakar. Ini berarti, air di kamar mandi tidak mengalir. Krisis air kami bertambah. Jika di awal tadi, kami kehabisan air tawar untuk minum. Kali ini kami kehabisan air payau untuk keperluan kamar mandi. “ Sekarang polisi hutannya sedang ke Pulau Untung untuk membeli bahan bakar dan membeli Air galon, tenang saja ya”, jelas Kak Ucup, salah satu Kakak TRASHI. Otomatis kami harus merombak ulang jadwal. Karena ketiadaan air, kami tidak bisa memasak dan tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain menikmati sore di pinggir pantai. Beberapa anak turun ke pantai dan bermain air hingga basah seluruh tubuhnya. Beberapa anak lainnya bermain pasir, membuat bentuk-bentuk unik. Beberapa yang lain, berjalan ke sisi pantai yang berbeda mengamati beraneka ragam sampah yang terdampar. Banyak sekali sandal dan sepatu yang tinggal sebelah yang tergeletak. Lalu beberapa anak lainnya, berkerumun mengelilingi Kak Seken yang berhasil mendapat seekor Gurita, memotong-motongnya dan mencucinya dengan air laut. Menjelang senja, anak-anak yang bermain air naik ke daratan dan berganti pakaian tanpa mandi. Mereka hanya menyeka tubuhnya dengan menggunakan tissue basah. Sementara sebagian anak lainnya yang tertinggal, duduk – duduk di pinggir pantai dan mengamati gerombolan Burung-burung laut yang kembali ke pulau. Burung-burung tersebut terbang dari tengah laut dan masuk ke Pulau Rambut. Sementara itu, tampak Matahari tenggelam di sisi kanan Pulau. Suasana senja membuat keadaan di area tenda mulai remang. Para penjaga hutan belum lagi kembali. Kami masih berada dalam krisis air dan sebentar lagi akan krisis cahaya. Setiap anak sudah bersiap dengan senternya. Kak Ucup mengingatkan, agar pada saat menyalakan senter, cahayanya diarahkan ke bawah, ke permukaan tanah. Jangan sampai cahayanya diarahkan ke arah pantai atau ke atas. Karena pihak-pihak di luar pulau akan menganggap itu sebagai kode bahaya. Akhirnya menjelang jam 7 malam, para penjaga pantai kembali membawa air galon dan bahan bakar untuk menyalakan genset. Akhirnya kami bisa mengisi botol minum dan menikmati air tawar. Namun kami tetap harus berhemat, karena sang polisi hutan hanya membawa dua galon saja dari Pulau Untung Jawa. Sekitar 15 menit kemudian genset menyala, pondok polisi hutan menjadi terang-benderang dan air di kamar mandi kembali mengalir. Alhamdulillah Kami kemudian mulai menyiapkan alat-alat masak dan bahan-bahan makanan. Tiap kelompok akan mulai memasak di gelapnya malam, hanya ditemani cahaya dari pondok polisi hutan yang letaknya sekitar 10 meteran dari area tenda, dan cahaya dari senter anak-anak. Sungguh situasi yang menantang. Karena mereka hanya memiliki waktu yang terbatas untuk menyiapkan makanan, makan malam, bersiap menjama’ qashar shalat Isya dan Maghrib, serta agenda selanjutnya: ‘pengamatan binatang malam’. Sebelum akhirnya lampu di pondok polisi hutan dimatikan dan tidak boleh ada seorangpun yang keluar dari tenda. Walau beberapa kelompok masih perlu dibantu oleh para guru pamongnya, namun akhirnya mereka berhasil memasak makan malam dan menyelesaikan makan malamnya tepat waktu. Setelahnya, mereka antri di kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah semua anak selesai mengambil air wudhu, kami melakukan shalat berjama’ah di pelataran teras rumah kayu dalam keadaan hampir gelap gulita. Berada dilingkungan asing, terlebih dilingkungan yang masih liar seperti Pulau Rambut ini, kami haruslah menjaga fikiran, sikap dan ucapan. Sebelum berangkat ke Pulau Rambut, berulang kali nasehat itu disampaikan kepada anak-anak. Namun, anak-anak tetaplah anak-anak. Karena antusiasme, mereka masih kerap kali berisik dan heboh. Sempat ada kejadian yang membuat para mentor harus mengumpulkan mereka dalam rapat darurat dan memberikan peringatan keras. Menjelang malam, kala remang berganti gelap, sebagian besar anak masih sibuk hilir mudik berganti pakaian. Suasana agak ramai, dan tiba-tiba dua orang anak berlari ketakutan dari arah kamar mandi . Di belakang pondok polisi hutan ada satu kamar mandi dengan wc dan satu kamar mandi tanpa wc yang pintunya rusak. “ Ada yang lewat di depan kamar mandi…” seru seorang anak. “ Ada yang membuka pintu kamar mandi kita…” jelas seorang anak lainnya terengah-engah. Padahal saat itu, hanya ada mereka berdua saja di daerah kamar mandi itu, karena posisinya yang agak jauh dari area tenda. Momen itu, kami gunakan untuk mengumpulkan anak-anak dan kembali mengulang petuah tentang adab kala berada di tempat asing, apalagi disituasi menjelang malam seperti itu. Karena melihat ekspresi kedua temannya yang benar-benar ketakutan, dan ekspresi kami yang sangat serius, atmosfer langsung berubah. Anak-anak seketika menjadi lebih tenang. Mereka yang tidak ada kesibukan, duduk dengan santai di dalam tendanya dan sebagian duduk-duduk disamping para guru. Ada yang ikut mendengar tilawah seorang guru, menyalakan tilawah dari gadget, maupun ikut berdzikir. Setelah makan malam selesai, saatnya agenda dari para Kakak TRASHI. Namun, berhubung saat itu waktu sudah terlalu malam. Maka agenda pengamatan hewan malamnya tidak bisa dilakukan, karena alasan keamanan. Sebagai gantinya, para Kakak TRASHI hanya menceritakan beberapa ilmu seputar pengamatan hewan malam. Kami berkumpul melingkar di depan salah satu pondok kayu rusak, dengan diterangi cahaya senter yang semuanya diarahkan ke bawah. Menjelang pukul 22.00 WIB, para Kakak TRASHI menutup penjelasannya dan mempersilahkan semuanya untuk bersiap tidur. Mereka mengumumkan kalau pada pukul 24.00 WIB, lampu di pondok polisi hutan akan dimatikan dan keadaan akan gelap total. Setelahnya anak-anak segera bersiap tidur. Kami harus membersihkan dahulu semuanya, tidak boleh ada sisa makanan maupun tempat makan kotor yang berantakan. Tiap kelompok membersihkan semuanya. Bahkan ketika ada sedikit cairan telur yang tertetes, itu harus segera disiram hingga bersih agar tak meninggalkan bau amis. Jangan sampai sisa-sisa makanan yang berantakan itu mengundang binatang-binatang liar nan berbahaya. Ketika sisa makanan dan perlengkapan makan sudah bersih, anak-anak belum bisa langsung tidur. Mereka harus memasukkan seluruh perlengkapan ke dalam tenda dan jika ingin ke toilet, maka saat itu adalah kesempatan terakhir. Setelahnya semua anak masuk ke dalam tenda masing-masing. Para guru berkeliling mengecek tiap tenda, memastikan semua anak lengkap, mengingatkan mereka untuk berdoa dan langsung menutup rapat resleting tenda. “ Panas Bu… Boleh dibuka bagian luarnya, jadi hanya pintu jaringnya saja yang ditutup.” Tawar anak-anak. “ Tidak boleh. Memang panas, tapi ditahan ya. Karena itu lebih aman.” Jawab kami tegas Setelah memastikan semua tenda anak-anak aman terkontrol, para Kakak TRASHI, khususnya kak Ucup dan Kak Seken, meminta kami untuk masuk ke dalam tenda dan beristirahat. Para Kakak tersebut bersama para polisi hutan, akan bergantian berjaga malam itu. Sekitar setengah jam kemudian, sempat ada kejadian heboh di salah satu tenda siswa, yang menyebabkan beberapa anak keluar dari tenda. Ketika diperiksa, ternyata kehebohan itu terjadi karena ada seorang anak di dalam tenda yang kentut. “ Ayo semuanya masuk lagi ke dalam tenda. Cuma kentut doang kok. Setelah ini, harus tahan ya. Tidak diijinkan lagi untuk keluar. Ok!” tegas seluruh mentor. Malam berjalan lambat. Cuaca cukup hangat di dalam tenda, bagai berada di dalam sauna. Burung laut ribut berkoak-koak. Rasanya seperti tepat di atas kepala kami. Hingga tepat ketika pukul 24.00, ketika tiba-tiba suasana menjadi hening seketika. Tidak ada burung-burung yang berkoak. Kami, para guru di dalam tenda tiba-tiba terbangun dan menegaskan pendengaran. Berupaya mereka-reka, ada apakah gerangan diluar? Dan memastikan tidak ada suara anak-anak yang mencoba-coba keluar dari tenda. Keheningan tersebut berlangsung tak sampai 10 menit, untuk kemudian para burung kembali bersuara. Sesuai kesepakatan dimalam sebelumnya, kami bangun dan keluar tenda pada pukul 04.30 WIB. Sejuuuk sekali angin pantai di saat itu. Setelahnya, kami berkeliling dan membangunkan anak-anak di tendanya masing-masing. Anak-anak langsung antri ke kamar mandi dan setelahnya kami melaksanakan shalat shubuh berjama’ah. Setelah shalat, sambil menunggu matahari terbit, sebagian besar anak-anak duduk-duduk di dermaga . Menikmati udara pagi dan menyaksikan gerombolan Burung-burung laut terbang meninggalkan pulau menuju lepas pantai. Ketika matahari terbit, para Kakak TRASHI meminta kami semua untuk langsung membereskan tenda. Akhirnya semua tenda terlipat rapi, anak-anak bersiap di ajak untuk senam pagi. Senam pagi tersebut dipimpin oleh para Kakak TRASHI. Sekitar 15 menit kemudian, senam selesai dan mereka memiliki kesempatan untuk mempersiapkan sarapan. Sebagian besar kelompok menyiapkan sarapan berupa rebusan Jagung, Ubi dan Singkong. Namun ada satu kelompok yang memasak nasi liwet. Sarapan selesai dan anak-anak langsung bersiap ke kegiatan selanjutnya. Para Kakak TRASHI mengajak mereka untuk kembali masuk ke hutan dan melakukan pengamatan burung di pagi hari. Mencari perbedaan antara kondisi Burung-burung di sore hari dan dipagi hari. Kami kembali menyaksikan pemandangan menakjubkan, dimana para Burung-burung putih hinggap dipuncak-puncak pohon. Kegiatan kami masih berlanjut terus. Ada satu kegiatan terakhir sebelum kami meninggalkan Pulau Rambut menuju Pulau Untung Jawa. Yaitu menanam tanaman Bakau. Ada sekitar 100 pohon Bakau kecil yang siap di tanam di pinggir pantai. Tiap anak menanam minimal dua pohon. Bibit-bibit Pohon Bakau ini di datangkan dari Pulau Untung Jawa yang terletak di sebelahnya Pulau Rambut. Kami berjalan menyusuri pantai. Melewati sisi pantai yang dipenuhi sampah yang terdampar, menaiki tembok pembatas yang berfungsi untuk mencegah abrasi, hingga sampai ke sebuah ceruk kecil. Tepat di balik tembok pembatas. Ceruk itu tergenang air dan berbatasan langsung dengan daratan. Seorang Bapak yang bertanggung jawab dalam proses penanaman ini, memberi contoh pada anak-anak mengenai cara menanam. Anak-anak diminta untuk sedikit merusak bagian bawah polybag, lalu menggali lubang kecil, dan tiap lubang diisi dengan dua bibit tanaman Bakau. Setelahnya, batang tanaman Bakau tersebut diikat dengan ajir Bambu. Kami berharap bibit-bibit tanaman Bakau yang kami tanam bisa tumbuh besar, dan melindungi pulau Rambut. Hampir satu jam kami menghabiskan waktu untuk menanam Bakau. Sekembalinya kami ke tenda, anak-anak bergegas berganti pakaian, merapikan semua perlengkapan dan bersiap menaiki kapal untuk berlayar menuju Pulau Untung Jawa. Kami sempat berfoto bersama di depan prasasti pulau Rambut. Pulau yang penuh kenangan. Tepat pukul 11.00 WIB, semua anggota tim sudah menaiki kapal kayu dan kami berlayar menuju Pulau Untung Jawa. Perjalanan hanya memakan waktu 20 menit saja. Kapal kayu kami merapat di pelabuhan kecil yang ramai. Berbeda dengan Pulau Untung yang sepi dan sangat alami, Pulau Untung Jawa adalah pulau yang penuh oleh penduduk serta wisatawan, dan padat oleh bangunan. Di pulau ini sebagian besar anggota tim masih melakukan observasi. Mereka berkeliling pulau, mendokumentasikan beragam hal, mewawancarai para penduduk dan mencatat. Menjelang tengah hari, seluruh anggota tim yang tersebar, berkumpul di sebuah rumah makan. Saatnya makan siang ! Kali itu makan siang kami sungguh istimewa. Menunya adalah nasi putih hangat, sayur tumis Kangkung, Ikan bakar, dan Cumi goreng tepung. Kami duduk berkelompok, dan dengan semangat menikmati makan besar perdana kami di peradaban. Sementara itu, dari aula yang terletak di belakang rumah makan kami, terdengar beraneka lagu dangdut mengalun. Rupanya sedang ada hajatan di dekat sana. Menjelang pukul 13.00 WIB. Kami harus bergegas untuk menaiki kapal dan berangkat ke luar dari Pulau. Berulang kali Kak Ucup mengingatkan kami, agar tepat waktu. Karena dikhawatirkan jika kami telat dan terlalu sore, maka bisa jadi kami akan menghadapi ombak besar di tengah laut. Karena harus bergegas, maka selepas makan, kami segera mencari masjid. Alhamdulillah, ada sebuah masjid kecil terletak tak jauh dari rumah makan kami. Di masjid tersebut, kami melakukan shalat Dzuhur dan Ashar berjamaah, di Jama’ Qashar. Lagi-lagi, air yang keluar dari keran adalah air asin. Betapa kami, selama dua hari ini menjadi sangat menghargai keberadaan air tawar. Kewajiban shalat sudah tertunaikan. Saatnya berjalan menuju kapal, yang sebelumnya tertambat di pelabuhan utama. Namun, tak berapa lama, kak Ucup berkata : “ Kita harus berjalan lebih ke ujung, karena kapalnya berpindah tempat. Karena di pelabuhan utama itu, sebuah kapal tidak bisa bersandar terlalu lama.” Akhirnya sambil menggendong ransel yang dipenuhi pakaian kotor dan beragam tentengan, kami berjalan menyusuri jalan utama. Melewati pintu gerbang pelabuhan utama, melewati kantor-kantor pemerintahan, hingga akhirnya berbelok ke sebuah lokasi kosong yang sedang dalam proses pembangunan. Ada satu-satunya kapal yang sedang bersandar di sana, kapal kayu kami. Satu persatu, tiap anggota tim melangkahkan kaki dari bibir darmaga ke dalam perahu kayu. Lalu, bersama-sama kami membaca doa keberangkatan. Setelah semua anggota tim telah lengkap, semua perlengkapan tidak ada yang tertinggal, maka kapal kayu kamipun berlayar. Kapal kayu yang berisi 37 penumpang itu membelah lautan, kembali ke teluk Jakarta. Kami kembali melewati beberapa Pulau, jajaran keramba, dan beraneka ragam kapal. Mendekati muara, kami kembali menyaksikan pemandangan pulau sampah yang memanjang di lepas pantai muara Angke. Para Burung terbang rendah dan mencari makan di atas tumpukan sampah. Sementara jajaran kapal kayu nelayan berbaris di pinggir sungai. Kapal kami sempat mati, dan berhenti di tengah-tengah mulut muara. Ternyata mesin kapal mati karena terlilit oleh sampah. Sementara nahkoda kapal sibuk membersihkan sampah yang terlilit di mesin kapal, kami terayun-ayun di dalam kapal . Air yang menghitam, sampah yang mengalir di sekililing kami, aroma busuk sampah, dan kesibukan para nelayan di kapal dan pondok mereka, menemani kami. Ketika mesin kapal akhirnya bisa berjalan, kapal kami perlahan menyusuri pinggiran Kali Angke menuju dermaga SMMA. Dalam perjalanan pulang ini, kami terkejut dengan aliran sampah yang jauh lebih banyak . Mengalir di tengah-tengah kali. Tidak heran, jika pulau sampah yang terbentuk makin banyak dan sampah-sampah tersebut bisa terbawa hingga ke kepulauan seribu. Sementara itu, para nelayan di pinggir kali, tampaknya sudah tidak terganggu dengan bau busuk sampah. Bahkan kami menyaksikan langsung, tempat pencucian kerang di pinggir kali. Kerang-kerang yang nantinya di jual ke tukang sayur, sebagai bahan lauk itu dicuci menggunakan air hitam Kali Angke. Akhirnya kamipun sampai di dermaga SMMA. Di sana kami disambut oleh beberapa orang tua murid yang sudah siap untuk menjemput. Wajah-wajah lega dan senang menyambut kedatangan kami, yang telah berhasil berpetualang selama 1 malam dan 2 hari. Namun, selain para orang tua, para Monyet ekor panjang yang ada di SMMA pun tak mau ketinggalan. Mereka bersandar di atas dahan-dahan pohon dan mengamati kami dengan seksama. Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata’ala, yang telah melindungi perjalanan pulang dan pergi dalam kegiatan PBL pertama ini. Akhirnya semua anggota tim keluar dari kapal kayu dan kembali menjejakkan kaki di daratan. Sebelum kami semua dibagi menjadi beberapa tim, dan menuju mobil jemputan untuk melaju pulang. Kami berbaris, menutup kegiatan dengan refleksi singkat, dengan doa dan beberapa kata pengantar dari para Kakak TRASHI. Ternyata para kakak TRASHI mempunyai kejutan, ada beberapa hadiah yang dibagikan untuk beberapa anak. Betapa perjalanan kami kali ini telah memberikan banyak sekali pengalaman dan hikmah. Tentang efek negatif sampah, tentang mereka yang tak bertanggung jawab, tentang kehidupan di pulau tak berpenghuni, tentang suasana kehidupan bermasyarakat di pulau kecil, tentang tak berdayanya kami di atas kapal kayu selama berlayar di lautan luas, tentang ekosistem yang terdesak, tentang perjuangan sebagian orang yang berusaha menyelamatkan alam yang masih tersisa, tentang kemampuan bertahan hidup, dll. Semoga perjalanan kami ini, bisa mengubah karakter kami menjadi lebih baik lagi, dan membuat kami bersemangat untuk mengkampanyekan perubahan . Regards, Yuni Khairun Nisa #sacikeas #sekolahalamcikeas #smp
0 Comments
Leave a Reply. |
Kelas 7Selamat datang di kelas 7 persahabatan Sekolah Alam Cikeas. Archives
February 2018
Categories
All
|