Tugu Bumi Kaleng, Sekolah Alam Cikeas. Beberapa minggu sebelum Ujian Nasional (UN) diadakan, ribuan orangtua di seluruh Indonesia sedang sibuk mempersiapkan anaknya belajar, bukan belajar biasa tetapi belajar luar biasa yang berbeda dari rutinitas sehari-hari. Duduk berjam-jam di depan tumpukan buku dan kertas, menjauh sementara dari peradaban untuk belajar luar biasa demi Ujian Nasional (UN), tes akademis yang kini seperti ajang perang yang menakutkan. Saya jadi ingat dahulu waktu kecil saat mendengar cerita si Mbah tentang perang kemerdekaan dan gugurnya teman-teman beliau di medan perang, cerita perang yang seharusnya mengerikan ternyata menjadi cerita yang mengesankan karena banyaknya nilai heroik dan kemanusiaan yang terkandung didalamnya, kebalikan dari cerita UN diatas. Cerita yang sama namun berbeda tentang internet yang bukan lagi barang baru dan mewah, kehadirannya boleh dibilang sudah jadi teman “ngobrol” saat ngopi, bahkan di warung pinggir jalanpun menyediakan menu internet walaupun yang dimaksud adalah mie telur pakai kornet. Internetpun sebenarnya seperti medan perang, banyak yang berjibaku di dalamnya untuk melakukan perang informasi, perang inovasi, perang teknologi dan yang lainnya. Tak mudah untuk bisa memanfaatkannya dengan benar apalagi menemukan oasis didalamnya, terlalu banyak godaan sehingga tanpa sadar kita jadi membuang-buang waktu percuma tanpa hasil daripada berhasil menemukan tempat yang aman, nyaman, dan menyenangkan untuk mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat. Belajar jangan disamakan dengan perang, walaupun sama-sama berjuang, dibandingkan perang yang mengerikan, belajar seharusnya menyenangkan. Kalau sekarang suasana belajar secara nasional sudah seperti medan perang, jangan ikut meramaikannya. Kalau belajar adalah duduk berjam-jam di depan meja untuk menghafal berjilid-jilid teori, terkucil di dalam ruangan dan mendengar celoteh pengajar, lantas apa enaknya belajar. Apa gunanya tubuh lengkap yang dikaruniakan Allah SWT kalau yang dipakai belajar cuma otak, mata, mulut dan telinga saja, fungsi tubuh lainnya dikemanakan?. Menjadi pintar adalah dambaan setiap orang, tetapi jika kriteria pintar diseragamkan dan hanya dinilai dari aspek yang terbatas, maka “bodoh” akan menjadi julukan yang sangat akrab di telinga kita untuk individu yang kemampuannya dianggap di bawah standar” dan menjadi “pintar” tidak lagi menjadi keistimewaan karena sama dengan lainnya. Kalau saja ada sekolah yang menyenangkan, di mana anak-anaknya bahagia saat berangkat ke sekolah dan enggan pulang karena betah di sekolah, bisa bermain-main diwaktu jeda saat ujian tanpa perlu menjadi penyendiri karena harus menghafal banyak teori, menjadi aktif dan tidak capek duduk seharian di kelas karena bisa bereksplorasi menggunakan seluruh inderanya menemukan hal-hal baru di lingkungan sekitar mereka, terbiasa menyapa ramah karena terasah etikanya, bercanda dengan kakak dan adik kelasnya karena sayang dan peduli, menjadi pandai diberbagai bidang dan bahagia karena diberi kesempatan untuk belajar dengan gaya belajarnya masing-masing. Di jaman seperti ini, saat proses belajar bisa menjadi rutinitas yang sangat menjemukan, harapan yang tersebut di atas mungkin hanya jadi sekedar impian. Tapi untungnya kenyataan tidak seperti itu lagi walaupun perlu sedikit usaha untuk menemukannya. Sudah ada oasis-oasis pendidikan yang memberikan kesegaran di tengah panasnya medan perang pendidikan akademis, di tengah oasis-oasis tersebut sebuah generasi baru sedang dibangun dan dipersiapkan untuk masa depan. Alhamdulillah saya berada di lingkungan oasis tersebut, kami bersama-sama berusaha untuk berkicau diantara deru mesin-mesin dan berusaha bersinar di kegelapan. Kelak di masa depan saat saya sudah jadi si mbah, cucu-cucu saya mungkin akan mengingat terus cerita masa muda si mbahnya saat mengajak anak-anak muridnya berjalan berkeliling dan mengabadikan penemuan-penemuan kecil tentang kecebong yang menjadi katak di sungai belakang sekolah, tentang belalang-belalang yang menyamar bagai daun di rimbunnya rerumputan, tentang asyiknya memancing undur-undur di bawah saung kelas, mengabadikan semuanya di kamera poket dan membagikan hasilnya ke seluruh dunia melalui dunia maya serta berusaha membuat oasis di tengah medan perang. Bayangkan betapa indahnya dunia ini jika seluruh alam semesta ini adalah sekolah dan setiap manusia adalah murid dan sekaligus gurunya. Kita bisa belajar apapun, belajar pada siapapun, mengajari apapun pada siapa saja, kapanpun dan di manapun berada dengan berjuta cara yang unik dan menyenangkan, menikmati asyiknya belajar sejak hela nafas pertama hingga terakhir, menjadi pintar dengan cara yang unik dan menyenangkan dan memahami bahwa perbedaan adalah keistimewaan. Mungkin suatu hari kelak saat anak cucu keturunan kita menjadi si Mbah mereka dapat bercerita pada cucunya bahwa merekalah yang menghapus kosakata bodoh dari kamus bahasa Indonesia karena medan perang pendidikan telah menjadi oasis. Tanyakan pada si Mbah Google tentang sekolah alam dan atau prodjectnoah, semoga si Mbah akan bercerita tentang oasis-oasis yang ada di tengah medan perang dan kau akan jadi cucu-cucu yang bahagia mendengar ceritanya (Doni Ari Bharata). Sekolah berkualitas, unggulan, favorit dan terbaik.
2 Comments
ade
3/10/2012 02:30:50
indahnya sekolah ini....yg terdekat ke slipi jakarta barat dimana????
Reply
Doni Ari Bharata
3/10/2012 04:09:46
Setahu saya yang dekat slipi belum ada sekolah alam.
Reply
Leave a Reply. |
ManajemenSelamat datang di Sekolah Alam Cikeas, Sekolah terdepan yang mencetak generasi pemimpin berkarakter. Arsip
March 2018
Kategori
All
|Manajemen Sekolah Alam CikeasSekolah berkualitas, unggulan, favorit dan terbaik.
|